Terjadi kesalahan. Tunggu sebentar dan coba lagi.

Telah dibahas sebelumnya bahwa kata oknum digunakan untuk memisahkan persoalan sistemik dengan persoalan personal. Artinya, jika ada seseorang yang berafiliasi dengan institusi tertentu, maka bukan institusinya yang salah, melainkan pribadi seseorang yang melakukan tindak kejahatan yang salah.

Bukan tanpa alasan mengapa kata oknum ini perlu dimunculkan di depan nama isntitusi. Dilansir dari Rubrik Bahasa, wartawan semasa Orde Baru sudah tahu, kalau ada alat negara seperti polisi atau militer menjadi berita karena melakukan tindak kejahatan, tanpa harus disuruh lagi mereka wajib menyertakan kata oknum, seperti “oknum polisi” atau “oknum ABRI.”

Penggunaan kata oknum tidak mengubah fakta bahwa pelaku suatu tindakan tidak terpuji atau bahkan kejahatan memang benar adalah bagian dari isntitusi terkait. Dengan kata lain, dalam contoh "oknum polisi" atau "pknum TNI," kata tersebut digunakan untuk menunjukkan bahwa tidak semua polisi buruk, atau tidak semua TNI melakukan hal semacam itu.

Namun yang jadi masalah, penggunaan kata oknum untuk mengacu pada personal lebih banyak mengacu pada lembaga atau instansi tertentu. Hampir tidak pernah terdengar bahwa kata oknum melekat pada lembaga atau institusi lain seperti misalnya, oknum nelayan, oknum buruh, oknum pedagang, oknum dokter, oknum seniman, atau oknum artis.

Padahal, ketika muncul berita artis yang tertangkap narkoba, secara sadar banyak orang sudah tahu bahwa tidak semua artis menggunakan narkoba. Namun dalam judul berita, tidak pernah muncul penggunaan kata oknum.

Hal ini menunjukkan perwujudan dari adanya politik bahasa. Dalam artikel Politik Bahasa dan Bahasa Politik, Mudjia Raharjo mengungkapkan bahwa politik dan bahasa seperti dua bidang yang terpisah dan sama sekali tidak ada keterkaitan. Padahal, keduanya dapat dilihat dalam dua macam hubungan.

Pertama, hubungan koordinatif, di mana politik dan bahasa berinteraksi, saling memengaruhi, dan tarik menarik secara setara. Kedua, hubungansubordinatif, di mana salah satu menjadi subjek dan lainnya menjadi objek.

Pada satu pihak bahasa dapat dijadikan agenda, kebijakan, dan sasaran kajian politik, sehingga politik menjadi subjek dan bahasa menjadi objek. Dalam kasus penggunaan kata oknum, bahasa menduduki posisi objek yang digunakan mencapai suatu agenda tertentu, seperti melindungi citra dari sititusi atau lembaga terkait.

Dalam artikel yang sama pun, Mudjia Raharjo pung mengatakan bahwa bahasa bukan sekadar sebagai alat komunikasi antara individu satu dengan lainnya, antara masyarakat satu denganlainnya. Lebih dari itu, bahasa sering dimanfaatkan sebagai alat untuk menunjukkan adanya kekuatan-kekuatan tertentu, baik oleh perseorangan, masyarakat, organisasi kemasyarakatan, pemegang kekuasaan, dan sebagainya.